Cerita dari Nusakambangan: Menyampaikan Cahaya Qur’an di Balik Jeruji

Pagi itu dimulai seperti biasa. Setelah mengantar anak ke sekolah PAUD, saya langsung memutar arah motor menuju Dermaga Wijayapura. Tujuannya sudah jelas sejak malam sebelumnya: mengisi kajian di Lapas Permisan, Nusakambangan.
Namun, baru beberapa ratus meter melaju, motor saya terasa oleng. Saya berhenti dan memeriksa ban—ternyata bocor. Saya pun menepi ke bengkel tambal ban terdekat. Setelah dicek, ternyata bukan hanya satu, tapi dua titik bocor. Sambil menunggu proses tambal, saya segera mengabari petugas lapas lewat WhatsApp—barangkali saya akan terlambat. Untunglah ban tubeless, prosesnya tidak lama.
Sebenarnya, dari rumah saya sudah sempat kepikiran ingin isi bensin dulu. Tapi, seperti biasa, ada saja hal kecil yang terlupa. Dan kali ini, bisa jadi masalah kalau kehabisan di tengah jalan sepi.
Tiba di Dermaga Wijayapura, seorang polisi muda menghampiri saya dan menanyakan tujuan. Saya jawab, “Mau mengisi kajian di Permisan, Pak.”
Beliau meminta saya mengisi data, lalu memotret saya. Prosedur standar, dan semua berjalan lancar.
Tak lama kemudian, kapal berukuran sedang tiba. Petugas sigap menaikkan motor-motor ke atas kapal, termasuk motor saya. Saya ikut naik, mencari tempat duduk. Hampir penuh, tapi masih ada satu tempat kosong di samping seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat. Anak itu tampak ketakutan—mungkin ini pertama kalinya ia naik kapal kecil.
Jujur saja, saya pun sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan laut. Ombak kecil Nusakambangan sudah cukup membuat kapal bergoyang-goyang. Tapi kami harus jalan terus. Perjalanan menyeberang hanya sekitar 10-15 menit. Setelah tiba, saya turun dari kapal dan langsung memacu motor lagi menuju Lapas Permisan—sekitar 15 km dari dermaga.
Jalanan sempit dan sunyi. Di kanan-kiri, pepohonan lebat menaungi jalan. Kadang saya melewati bangunan-bangunan lapas lain. Di satu sisi jalan, terbentang lautan. Mendekati tujuan, jalan mulai menanjak dan menurun dengan tajam. Dan kekhawatiran saya soal bensin benar-benar terasa. Tidak terbayangkan jika habis bensin di sini. Tak ada penjual bensin satu pun sepanjang jalan.
Alhamdulillah, sesampainya di dekat lapas, ada seorang petugas menyapa. Saya tanyakan soal bensin, dan ternyata ada warung kecil di pojok yang menjual bensin eceran. Saya beli dua liter, cukup untuk pulang-pergi.
Saya menekan bel di gerbang besi Lapas Permisan. Ada CCTV mengawasi. Pintu besi besar itu dibuka perlahan dari dalam. Saya masuk, mengisi data, difoto, dan diperiksa. Handphone dititipkan—memang sejak masuk pulau, sinyal sudah hilang total.
Setelah itu, saya duduk sejenak bersama takmir masjid—yang ternyata seorang narapidana dengan vonis 20 tahun, dan baru menjalani 8 tahun. Wajahnya tenang. Kami berbincang sebentar. Lalu saya masuk ke masjid dan menunaikan shalat Dhuha.
Takmir mulai memanggil para penghuni lapas untuk hadir di masjid At-Tawwabin. Jamaah mulai berdatangan. Mereka duduk rapi, tenang, dan siap menyimak.
Kajian saya mulai dengan pembahasan tentang sifat Allah Yang Maha Pemurah. Bahwa siapa pun yang bersungguh-sungguh kembali, akan diterima oleh-Nya. Saya uraikan tafsir ta’awwudz, pentingnya meminta perlindungan dari godaan setan—baik dari kalangan jin maupun manusia. Saya juga ceritakan tentang akhirat, Padang Mahsyar, dan bagaimana kasih sayang Allah dan kelembutan Rasulullah begitu luas untuk semua hamba-Nya.
Saya sempat khawatir para jamaah akan mengantuk karena penyampaian saya cukup serius. Tapi ternyata mereka selama satu jam lebih menyimak dengan baik. Tak satu pun yang tertidur. Semua memperhatikan dengan wajah tenang dan penuh rasa ingin tahu.
Sebelum menutup kajian, saya ajarkan satu doa singkat yang biasa dibaca setelah Subuh: doa meminta ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima. Saya diktekan perlahan, mereka ulangi. Berkali-kali hingga mulai hafal. Suara mereka serempak, pelan namun mantap.
Saya akhiri dengan doa. Mereka mengaminkan dengan penuh kekhusyukan. Saya terdiam sejenak—bukan karena kelelahan, tapi karena rasa haru. Kajian hari itu bukan hanya tentang menyampaikan, tapi juga tentang menerima. Ada pelajaran yang saya bawa pulang.
Hari itu saya belajar, bahwa di balik tembok dan jeruji, ada banyak hati yang sedang sungguh-sungguh ingin berubah. Ingin kembali. Ingin dimaafkan. Mereka yang tampak terpenjara, bisa jadi lebih merdeka dari banyak orang di luar sana.
Alhamdulillah, Allah beri kesempatan untuk menyampaikan Al-Qur’an di tempat berkumpulnya orang-orang yang sedang menjalani hukuman.
Dan saya pulang dengan hati yang lebih penuh, bukan karena isi ceramah saya, tapi karena mereka—yang diam-diam mengajarkan saya tentang harapan, sabar, dan taubat.