
Oleh : Didi Eko Ristanto
Pagi tadi, saat membuka Facebook, sebuah kutipan dari Jalaludin Rumi muncul di beranda saya. Sebuah quote yang sederhana tapi dalam, dan entah mengapa rasanya seperti sedang ditujukan langsung kepada saya:
“Jika kau memandang Al-Qur’an dengan pandangan mata, kau akan melihat huruf-huruf.
Jika kau memandang Al-Qur’an dengan pandangan akal, kau akan melihat ilmu pengetahuan.
Jika kau memandang Al-Qur’an dengan pandangan hati, kau akan melihat cinta Allah.
Tapi jika kau melihatnya dengan pandangan jiwa, kau akan melihat Tuhan.”
Saya terdiam. Tertegun.
Quote itu bukan sekadar kalimat bijak, ia seperti cermin yang memantulkan bagaimana selama ini saya memperlakukan Al-Qur’an.
Selama ini, mungkin saya baru melihat huruf-huruf.
Membaca, iya. Tapi kadang hanya sebagai rutinitas, sekadar menggugurkan kewajiban.
Kadang saya merasa sudah cukup karena sedikit tahu tentang tafsir, sedikit hafal ayat ini itu, tapi ternyata belum cukup dalam mencintai setiap kalimat-Nya.
Belum benar-benar menghadirkan Tuhan saat membacanya.
Lalu saya teringat pada banyak saudara-saudara kita, sesama muslim.
Betapa banyak dari mereka yang bahkan belum bisa membaca Al-Qur’an.
Sudah baligh, sudah shalat bertahun-tahun, tapi untuk sekadar mengenal huruf hijaiyah pun masih tertatih.
Ada yang malu belajar karena usia, ada yang tak tahu harus mulai dari mana.
Dan yang bisa membaca? ernyata tidak rutin membacanya.
Apa karena sibuk?
Saya kira tidak.
Kita tahu, waktu kita banyak yang habis bukan untuk hal penting.
Berjam-jam di media sosial, scroll tanpa arah, menonton video pendek tanpa ujung.
Obrolan panjang tak bermakna, kesibukan-kesibukan yang tak membawa kita lebih dekat pada Tuhan.
Waktu yang seharusnya bisa kita sisihkan untuk satu lembar mushaf…
Satu ayat… bahkan satu baris…
Tapi sering kali justru terbuang untuk hal lain yang tak menambah perbekalan akhirat dan tak menambah keimanan.
Saya merenung,
Bisa jadi bukan kita yang tak sempat, tapi hati ini yang sudah tak merasa butuh.
Karena orang yang lapar, akan selalu mencari makanan.
Tapi kalau hati sudah tak merasa kelaparan akan firman-Nya, bagaimana ia akan mencari Al-Qur’an?
Al-Qur’an bukan hanya untuk dilihat, tapi untuk direnungi.
Ia bukan sekadar ilmu, tapi cahaya.
Ia bukan kumpulan ayat, tapi detak kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya.
Dan Rumi benar…
Jika kita memandang Al-Qur’an hanya dengan mata, yang tampak hanyalah huruf.
Jika dengan akal, kita sibuk menghitung makna dan struktur.
Tapi jika dengan hati, kita akan mulai merasakan kasih sayang-Nya.
Dan jika dengan jiwa… kita akan melihat kehadiran Tuhan di tiap ayat, di tiap jeda, di tiap bisik yang mendekap.
Saya menuliskan ini bukan karena sudah baik.
Saya juga masih belajar, masih naik turun, masih sering kalah oleh waktu yang terbuang.
Tapi saya tahu, setiap kali saya kembali membuka mushaf, selalu ada yang tenang.
Selalu ada bagian dari diri saya yang semakin terang dan lapang.
Maka saya berdoa…
Semoga Allah lembutkan mata hati kita.
Agar tak hanya membaca… tapi benar-benar melihat.
Melihat cahaya, melihat cinta, dan melihat Tuhan yang terus memanggil dari balik lembar-lembar ayat suci-Nya.
Dan semoga kita semua diberi kekuatan untuk kembali menjadikan Al-Qur’an sebagai teman harian, bukan sekadar bacaan musiman.
Karena siapa yang hidup bersama Al-Qur’an, ia tak akan pernah benar-benar sendirian.
Cilacap, 26 Juni 2025