
Oleh : Didi Eko Ristanto
Cinta…
Ia bukan sekadar rasa, tapi pangkal dari segala kebaikan yang mengakar dalam hati.
Dan bagi orang-orang yang beriman, cinta yang paling agung, yang paling luhur, adalah cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sudah menjadi fitrah manusia: ia akan mencintai siapa yang berbuat baik padanya.
Siapa yang paling banyak kebaikannya pada kita, kalau bukan Allah?
Dialah yang menciptakan kita dari ketiadaan, meniupkan ruh ke dalam jasad, memberi kita kehidupan, rezeki, dan hidayah.
Dia yang menutupi aib-aib kita setiap hari, dan masih memberi nikmat meski kita sering lalai kepada-Nya.
Maka tak lumrah—bahkan mengherankan—jika ada manusia yang tak mencintai Penciptanya sendiri.
Betapa janggal jika seseorang bisa mencintai makhluk, namun abai terhadap Dia yang menciptakan segala makhluk.
Lihatlah, betapa dalamnya cinta seorang anak kepada ibunya.
Sebab ibulah yang mengandung dengan susah payah, melahirkan dalam sakit yang mendalam, menyusui dengan penuh pengorbanan, membesarkan tanpa pamrih.
Anak juga mencintai ayahnya.
Karena ayahlah yang menafkahi, melindungi, memelihara, membimbing dengan tangannya yang kokoh.
Namun, bukankah Allah lebih dari segalanya?
Bukankah Dialah yang menciptakan ibu dan ayah itu sendiri?
Maka, jika cinta kepada orang tua begitu besar, seharusnya cinta kepada Allah jauh lebih besar dan tak terbandingkan.
Cinta kepada Allah adalah dasar segala kebaikan.
Karena cinta, seseorang menjadi ringan dalam taat.
Karena cinta, seseorang menjadi kuat dalam berjuang.
Karena cinta, seseorang rela meninggalkan yang haram, meski terasa nikmat.
Karena cinta, seseorang mampu meneteskan air mata saat bersujud di tengah malam.
Jika seseorang benar mencintai Allah, maka ia akan mencintai semua yang dekat dengan-Nya:
Ia akan mencintai Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ia akan mencintai kitab-Nya, Al-Qur’an, dan merasa tenang saat membacanya.
Ia akan mencintai rumah-Nya, masjid, dan menjadikan langkah-langkah ke sana sebagai langkah cinta.
Orang yang mencintai Allah juga akan mencintai hamba-hamba yang dicintai-Nya.
Ia akan mendekat kepada orang-orang shalih, karena mereka adalah kekasih Allah di bumi.
Ia takkan betah dalam lingkungan yang menjauh dari Allah.
Hatinya hanya nyaman bersama orang-orang yang mengingatkan pada akhirat.
Cinta yang tulus pada Allah bukan sekadar slogan.
Ia harus tumbuh, dijaga, dan disuburkan dengan ibadah, dzikir, dan ketaatan.
Karena cinta sejati selalu menumbuhkan rindu.
Dan rindu kepada Allah hanya bisa ditenangkan dengan sujud dan air mata.
Maka tanyakanlah pada hatimu,
Sudahkah Allah menjadi cinta yang pertama dan utama?
Ataukah hati kita masih sibuk mencintai dunia, dan lupa pada Pemiliknya