
Oleh: Didi Eko Ristanto
Di antara perkara paling berat dalam hidup ini adalah mendudukkan hati kita—secara utuh dan khusyuk—di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan hanya secara lahir, tapi benar-benar menghadapkan seluruh rasa, pikiran, dan kesadaran kepada-Nya. Saat sunyi ataupun riuh, saat sehat maupun sakit, saat berkecukupan ataupun dililit kekurangan, godaan untuk berpaling dari-Nya datang silih berganti, seolah tak pernah lelah memburu.
Ironisnya, bahkan dalam ibadah yang paling sakral—shalat—seringkali hati ini masih mudah terbang entah ke mana. Lengah, lalai, dan kehilangan arah. Betapa rapuhnya kita, bahkan saat berdiri di hadapan-Nya, pun hati bisa berpaling ke dunia.
Namun di tengah rapuh itu, kita tetap berharap. Kita berharap pada luasnya maaf Allah. Pada samudera ampunan-Nya yang tak bertepi. Kita yakin bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pemaaf, walau kita juga tahu bahwa Dia Maha Teliti dalam hisab, Maha Adil dalam setiap balasan, dan Maha Dahsyat dalam siksa-Nya.
Berat, sungguh berat. Terlebih di zaman seperti ini—zaman di mana seribu satu alasan tersedia untuk membuat kita lalai. Semua tampak masuk akal. Semua terasa bisa dimaklumi. Tapi bagi mereka yang telah menancapkan tujuan hidupnya hanya untuk Allah, mereka tidak lagi mencari alasan. Mereka tak butuh pembenaran. Sebab arah hidup mereka jelas: menghadap Allah, berjalan kepada-Nya, dan tak mau berpaling walau sesaat.
Mereka tahu setiap zaman punya kerusakan, punya godaan, dan punya perangkap. Dari zaman Nabi Adam hingga hari ini, setan tak pernah pensiun. Ia bekerja siang dan malam, menebar jerat agar hati ini berpaling dari jalan yang lurus.
Namun, siapa pun yang jatuh, jangan putus asa. Siapa pun yang tergelincir, bangkitlah kembali. Tak ada waktu untuk berlama-lama menyesali kekalahan. Tak ada ruang untuk tenggelam dalam kesedihan. Selama napas masih berhembus, selama hati masih bisa berdenyut untuk-Nya, maka harapan itu selalu ada.
Setan dan hawa nafsu memang tugasnya menggoda. Tapi manusia diberi hak untuk menang. Hak untuk meraih ridha Allah. Hak untuk masuk surga dan menatap wajah-Nya kelak. Maka bersabarlah. Terutama di zaman akhir ini, ketika ujian datang bukan hanya dalam bentuk kesulitan ekonomi, tetapi juga hilangnya teladan, langkanya guru sejati, dan minimnya lingkungan yang mendukung kebaikan.
Sabar bukan selama-lamanya. Tapi buah dari sabar yang sebentar ini, adalah kebahagiaan yang abadi. Sabar yang berat ini akan diganti dengan surga, dengan keridhaan Allah, dengan pandangan kepada-Nya, dan dengan berkumpulnya kita bersama orang-orang shalih yang dicintai Allah.
Perjalanan ini masih panjang. Sementara rintangan tak henti mendera. Perbekalan masih sangat minim, sementara teman seperjalanan satu demi satu hilang, atau bahkan mungkin kita harus berjalan sendiri. Tapi ingatlah: sendiri dalam kebenaran lebih mulia daripada ramai dalam kesesatan.
Allah adalah sebaik-baik teman perjalanan. Dialah yang tak pernah meninggalkan kita, meski semua manusia telah menjauh. Dan ingatan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pelipur lara, bahwa tak ada manusia yang lebih berat ujiannya daripada beliau, namun beliau tetap teguh dalam cinta dan taat kepada Allah.
Meski berat mendudukkan hati di hadapan-Nya, tetaplah berusaha. Meski sering gagal, tetaplah kembali. Karena jika niat kita tulus, langkah kita sungguh-sungguh, Allah pasti akan menyambut. Dia akan meraih kita, menggandeng kita, dan menuntun kita ke tujuan akhir: ridha dan kasih sayang-Nya.
Dialah penolong sejati. Tiada penolong selain Dia. Dan Dia-lah sebaik-baik penolong.