
Gerakan Islam Berkemajuan
Sering benar lidah ini lantang mengucap, fasih tanpa tersendat—”walal-akhiratu khayrun wa abqā”, akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Ayat ini menghujam dada, menjadi kalimat indah yang kita lantunkan dalam tilawah dan ceramah. Tapi, apakah ia betul-betul hidup dalam laku dan waktu?
Lidah bicara, hati percaya, tapi tangan meraba dunia, mata menatap dunia, kaki melangkah ke dunia, dan jiwa—ah, jiwa itu mabuk dunia!
Ketika kita duduk mendengar khutbah, dunia terasa hina dan remeh. Kita mencemoohnya seolah ia sampah yang layak dilempar ke tong najis. Tapi ketika dunia menyapa dalam bentuk hiburan, wanita dengan kulit halus dan senyum manis, harta bertumpuk, emas-perak berkilau, jabatan tinggi, kendaraan mewah, dan rumah yang seperti istana—kita tertunduk tak kuasa. Terpesona. Terikat. Tertawan.
Dunia kita caci di lisan, tapi kita peluk erat di kenyataan. Kita sebut akhirat lebih baik, tapi waktu kita habis di dunia. Kita bilang akhirat kekal, tapi tenaga dan umur terkuras demi dunia yang fana. Mana yang lebih lama engkau kerjakan hari ini? Urusan duniamu atau bekal akhiratmu?
Rasulullah bersabda,
“Innad-dunya hulwatun khadirah” — Dunia itu hijau dan manis.
Hijau, menyejukkan mata. Manis, menggoda rasa. Siapa yang tidak tergoda? Bahkan para ahli ibadah pun bisa terpeleset oleh manisnya dunia yang menyamar sebagai ‘kenikmatan yang halal’.
Cinta dunia itu akar segala dosa. Sebab dari cinta itu lahir kikir, lahir dengki, lahir tamak, lahir tipu, lahir zalim. Maka dunia bukan semata buruk, tapi bila salah letak, ia menjadi racun yang membunuh ruh.
Maka tanyakanlah pada diri:
Apakah benar akhirat lebih baik di hatimu? Atau hanya di mulutmu?
Apakah ia lebih kekal dalam niatmu? Atau sekadar ucapan di mimbar?
Engkau akan tahu jawabannya dengan satu pertanyaan sederhana:
Waktumu, lebih banyak mana kau habiskan? untuk dunia atau untuk akhirat?